Kepemimpinan Sejati
Artikel dari Bagus H. Jihad di 10:07
(Sumber :
Google.com)
[Baguse-rek] “Bangsa ini punya
orang atau penguasa formal, seperti presiden atau gubernur, tetapi tidak
memiliki pemimpin sejati. Ada pemerintah, tetapi pemerintahannya sudah tidak
dipatuhi, sehingga dikatakan pemerintahan sudah berhenti.” Suara dari TV itu
membuatku berhenti membaca, dan menarikku duduk di depannya. Rupanya siaran
ulang Orasi Kebangsaan oleh Buya Syafii Ma’arif pada peringatan ulang tahun
Surya Paloh Ketum Ormas Nasional Demokrat di Gd. Perintis Kemerdekaan Jakarta
(16/7).
Selanjutnya Buya mengatakan,”
Pemimpin
di negeri ini absurd, perintah 50% tidak dijalankan. Jangan mengeluh dong.
Kenapa ini, apa penyebabnya? Apa perintahnya tidak masuk akal atau anak buahnya
tidak patuh lagi? Kalau anak buah sudah tidak patuh, bisa dikatakan,
kepemimpinan sudah berakhir”.
“Tajam, sangat tajam dan berani. Untunglah bukan di jaman
ORBA, kalu tidak mungkin Buya sudah “dijemput”. Mungkin bukan hanya Buya Syafii
yang dijemput, tapi penggagasnya, pendengarnya dan tidak mungkin bisa kuikuti
siaran ulangnya,”gumamku.
Sesudahnya, kubuka direktori file laptopku, karena aku ingat
pernah menyimpan file yang berkaitan dengan kepemimpinan. Butuh waktu cukup
lama sampai aku menemukannya, dan seperti yang tertulis berikut ini!
Kepemimpinan versi John Maxwell
Banyak orang
merasa menjadi pemimpin pada saat sebuah tanda jabatan disematkan di dadanya,
dan ia dilantik oleh pejabat di atasnya. Sementara ternyata dalam kesehariannya
ia hanya memimpin dengan sebuah buku, yaitu yang namanya buku peraturan, dimana
Ia hanya mau tanda tangan dan menyetujui kegiatan kalau rule nya ada di buku.
Kata orang ia adalah orang yang jujur dan taat perintah. Praktis hampir tak
pernah ada kesalahan yang ditimpakan kepadanya, karena ia adalah orang yang
benar-benar taat aturan. Mereka jumlahnya cukup banyak, dan tentu saja benar
bahwa mereka adalah pemimpin, namun yang membedakan mereka dengan yang lain
tentu adalah tipenya, sebab untuk menjadi pemimpin dibutuhkan lebih dari
sekedar aturan, melainkan juga terobosan dan respek.
5 Peringkat Pemimpin
John Maxwell membuat peringkat pemimpin dalam 2 level.
Orang yang dibicarakan di atas benar adalah pemimpin, tetapi baru sekedar
pemimpin di atas kertas, yaitu pemimpin level satu. Pemimpin yang sempurna
adalah pemimpin level 5, yaitu pemimpin yang dituruti, karena direspeki. John
Maxwell menggunakan 5 level pemimpin (5P) yaitu Position, Permission,
Production, People Development, dan Personhood. Masing-masing akan dibahas
berpasangan dengan produknya, yang disebut Maxwell sebagai 5R, yaitu Rights,
Relationships, Results, Reproduction dan Respect.
Pada pemimpin level 1, seseorang dituruti semata-mata karena position
nya. Ia duduk di sana karena ia memegang hak tertulis (rights). Orang-orang
mengikutinya, karena suatu keharusan. Celakanya, semakin lama ia berada di
posisi itu akan semakin mundur organisasi. Organisasi akan ditinggalkan oleh
karyawan-karyawan kelas satunya yang menyukai terobosan dan laku di pasar.
Sementara itu moral kerja merosot drastis dan image sebagai organisasi yang
disegani tak lagi terdengar, malah sebaliknya.
Pemimpin ini sebaiknya segera memperbaiki diri. Ia bisa menapak naik ke pemimpin
level 2, yang disebut permission (sedikit di atas otoritas). Ia
tidak melulu mengacu pada peraturan tertulis, melainkan mulai menghargai
orang-orang yang melakukan terobosan sebagai warna yang harus diterima.
Orang-orang pun senang dan menerima kepemimpinannya bukan lagi semata-mata
karena rights, melainkan relationship. Mereka mengikuti karena mereka
menghendakinya. Tetapi kalau cuma sekedar relationship saja, dan orang-orang
merasa senang maka ia bisa menjadi pemimpin yang populis, yang anak-anak
buahnya tidak terpacu untuk maju.
Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin naik lagi ke pemimpin level 3,
yaitu maju dengan kompetensi dan memberi hasil yang dapat dilihat secara kasat
mata. P ketiga ini disebut production, dan orang-orang di bawahnya mau
mengikuti kepemimpinannya karena results, yaitu hasil nyata yang tampak
pada kesejahteraan mereka dan kemajuan organisasi. Pemimpin pun senang karena
pekerjaannya dengan mudah diselesaikan oleh orang-orang yang dedikatif, bekerja
karena momentum. Biasanya level tiga ini berdampingan atau tipis sekali
batasnya untuk melompat ke level empat. Ini hanya soal kemauan berbagi saja dan
relatif tidak sulit karena hasilnya ada dan bukti-buktinya jelas. P ke 4 ini
disebut people development dan hasilnya diberi nama reproduction.
Pemimpin level 4 adalah pemimpin langka yang bukan cuma sekedar
memikirkan nasibnya sendiri, melainkan juga nasib organisasi. Ia tidak rela
sepeninggalnya ia dari organisasi, lembaga itu mengalami kemunduran, maka kalau
ia tak bisa memilih sendiri pengganti-penggantinya, ia akan memperkuat
manajer-manajer di bawahnya agar siapapun yang menjadi pemimpin organisasi akan
terus bergerak maju ke depan. Tentu saja tidak mudah mendeteksi pemimpin tipe
ini selain dari apa yang ia lakukan untuk mengembangkan calon-calon pemimpin. Biasanya
kita baru bisa menyebut Anda berada pada level empat kalau Anda sudah pensiun,
sudah tidak duduk di sana lagi. Pada waktu Anda meninggalkan kursi Anda, maka
baru bisa kita lihat apakah orang-orang yang dihasilkan benar-benar mampu
meneruskan kemajuan atau malah mundur. Tentu saja maju-mundurnya organisasi
paska kepemimpinan Anda sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya, tetapi kita
dapat membedakan dengan jelas siapa yang membuat ia maju atau mundur.
Kepemimpinan level 5 ini oleh Jim Collins disebut sebagai
pemimpin dengan professional will dan strategic humility. Kepemimpinan ini
disebut sebagai spiritual leader yang tampak dari perilaku-perilakunya yang
merupakan cerminan dari pergulatan batin dalam jiwanya (inner voice).
Orang-orang seperti ini tidak mencerminkan kebengisan, melainkan ketulusan
hati. Ia bisa saja mengalami benturan-benturan, tetapi semua itu bukanlah
kehendaknya pribadi. Orang yang baik hati seperti Gandhi saja ternyata juga
dicaci maki dan dibunuh, tetapi satu hal yang jelas, ia diikuti oleh banyak
orang karena dirinya dan apa yang ia suarakan. Mereka patuh karena respek. Mereka
tahu persis bahwa bahaya terbesar akan terjadi kala mereka mulai populis, yaitu
ingin disukai semua orang ketimbang direspeki.
5 LEVEL
KEPEMIMPINAN SEJATI
Sebuah perusahaan di Jepang, sedang merugi besar. Masalahnya, saham perusahaan
juga anjlok karena perusahaan sparepart otomotif ini, mencoba untuk terjun ke
bisnis properti. Tanpa pegalaman serta orang-orang yang handal serta ditimpa
krisis dunia, akhirnya perusahaan ini nyaris rontok. Saham perusahaan anjlok
dan banyak karyawan yang marah serta menyalahkan pimpinannya.
Akhirnya, pertemuan antara pimpinan serta para karyawanpun dilakukan. Rata-rata
karyawan sudah siap untuk menyerang dan menjatuhkan si pemimpin mereka yang
dianggap bertanggung jawab atas kesalahan pengambilan keputusan itu.
Ketika si pimpinan masuk, tidak ada sambutan tepuk tangan. Bahkan tidak ada
penghormatan. Namun, ketika diberikan kesempatan untuk bicara. Si pimpinan
perusahaan, serta merta berlutut ke lantai, membungkukkan badannya dalam-dalam
dan berkata, "Saudara-saudara sekeluarga di perusahaan ini. Saya minta
maaf. Saya sungguh ingin minta maaf. Saya telah mengambil keputusan yang salah
yang menyebabkan saham perusahaan kita anjlok. Tetapi, jika diijinkan, saya
akan melakukan langkah apapun yang diperlukan untuk membangun kejayaan
perusahaan kita kembali, Saya bersedia membayar ongkosnya dengan kerja keras
saya". Serentak, semua karyawan tertunduk, ikut membungkuk
dalam-dalam dan banyak diantaranya yang menangis!
Kisah di atas punya banyak kemiripan dengan kisah yang diceritakan oleh Martin
L.Johnson dalam buku Chicken Soup for the Soul at Worl, yang berkisah tentang
CEO Pioneer Hi-Bred Interneational, yang gara-gara membeli Norand, sebuah usaha
teknologi informasi, akhirnya jutsru merugi besar. Dan, hal yang tak pernah
terlupakan bagi karyawannya, adalah tatkala, dengan rendah hati, Tom Urban,
CEO-nya meminta maaf dengan tulus serta mengambil tanggung jawab atas
kesalahannya. Itulah contoh-contoh kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.
Lima Level
Kepemimpinan
Pertanyaan paling
pokok disini adalah, bagaimanakah kita bisa sampai ke level kepemimpinan yang
bisa menginspirasi banyak orang? John C. Maxwell, salah seorang guru
kepemimpinan yang telah mengajarkan jutaan pemimpin di dunia tentang
kepemimpinan mempunyai jawabannya. Ia membagi kepemimpinan menjadi lima level
yang harus dilewati. Menurutnya, jika kepemimpinan itu diibaratkan seperti anak
tangga, maka terdapat lima tangga utama yang harus dilewati oleh para
pemimpinan di dalam organisasi. Cobalah Anda evaluasi dan refleksikan,
bagaimanakah posisi kepemimpinan Anda maupun orang-orang di sekitar Anda. Dan
yang paling penting, coba perhatikan sampai di level manakah kepemimpinan Anda
saat ini?
Level pertama,
adalah level posisi (position). Inilah level kepemimpinan yang paling rendah.
Pada dasarnya, orang mengikuti Anda karena 'kebetulan' mereka tidak punya pilihan
sebab Andalah yang dipercaya untuk memegang posisi tersebut. Pada level ini,
otoritas seorang pemimpin hanya terbatas di posisi ini. Bawahan merasa hanya
perlu berinteraksi sekedar hanya untuk mendapatkan tanda tangan dan
persetujuan. Tetapi, di level ini, banyak bawahan tidak merasa betul-betul
dimiliki oleh atasannya, sehingga tak heran dibelakang mereka sering
mengata-katai boss mereka ini. Saya pernah mendapatkan sebuah email, dari
seorang peserta training yang berkisah tentang boss-nya, "Pak, saya di
perusahaan consulting. Pimpinan saya diangkat karena jualannya bagus dan sangat
pandai negosiasi. Tapi, kami tidak pernah respek karena dia sendiri nggak
pernah menganggap kami. Ia maju sendiri dan marah kalau dari kami ada yang
kontak dengan pimpinan. Semua harus lewat dia. Di kantor, ia memiliki kami tapi
hati kami tidak bersama dia". Pada kenyataannya, ada banyak pemimpin yang
bertahun-tahun di posisi ini, tetapi tetap tidak pernah naik ke level
berikutnya.
Nah, pada level
berikutnya, atau level kedua, adalah level dimana telah terjadi hubungan dan
kesediaan (permission). Disinilah orang mulai mengikuti bukan karena 'harus'
tetapi karena mereka 'ingin'. Di level inilah, pengaruh Anda sebagai pimpinan
mulai kelihatan. Sebenarnya, ketika memasuki level ini, sudah terjadi kontak
batin serta mulai ada chemistry antara orang yang dipimpin dengan yang
memimpin. Proses interaksi mulai terjadi dan hubunganpun mulai terbangun. Hanya
saja, jika seorang pemimpin terlalu lama di tangga ini, bisa jadi ia menjadi
sangat populer di mata bawahannya, hubungannya baik tetapi hasil dan output-nya
bisa jadi kurang memuaskan. Itulah sebabnya seorang pemimpin tidak boleh
terlalu lama di tangga ini.
Tangga kedua ini
sebenarnya mengingatkan kita pada Edward Liddy, mantan Chairman dan CEO AIG,
yang reputasinya anjlok setelah ia membagi-bagikan bonus besar kepada
karyawannya. Di mata karyawan mungkin saja tindakan tersebut dianggap
populer dan ia pun disukai, tetapi secara bisnis langkah ini tentu saja tidak strategis.
Masalahnya, untuk selamat saja, AIG konon harus menerima dana bailout dari
pemerintah AS sebesar $84 miliar.
Berikutnya, level
ketiga dari kepemimpinan adalah level menghasilkan (production). Kalau level
kedua banyak berbicara mengenai pandangan tentang Anda di mata karyawan level
ketiga ini mulai berbicara mengenai pandangan Anda di mata manajemen.
Masalahnya, disinilah orang mulai melihat bagaimana output team yang Anda
hasilkan, setelah Anda mulai memimpin suatu tim. Jika seorang pemimpin sudah
berhasil samapi di level ini, maka selain terdapat kontak batin yang baik
antara pemimpin dengan anak buahnya, juga terdapat hasil yang bisa dibanggakan.
Kemudian, level
berikutnya adalah level pengembangan orang (People Development). Disinilah,
seorang pemimpin tahu bahwa ia tidak bisa menjadi sukses sendirian, atau hanya
dirinya yang mampu sementara anak buahnya bergantung adanya. Dalam level
inilah, maka seorang pemimpin mulai banyak meluangkan waktunya untuk melakukan
proses coaching dan counseling ataupun mentoring untuk mendidik orang-orang
dibawahnya agar mampu. Sayangnya, banyak pemimpin yang terlambat sekali tiba di
level ini. Baru-baru ini, dalam acara makan malam dengan seorang CEO yang sudah
tua, ia mengatakan, "Pak Anthony. Saya agak terlambat menyiapkan
orang-orang untuk menggantikan saya. Sekarang, saya sudah sakit-sakitan. Saya
mulai membagikan semua ilmu yang saya miliki untuk orang-orang yang
diproyeksikan akan memimpin bisnis ini di masa depan. Saya tidak tahu, apakah
waktu saya masih akan mencukupi untuk itu"
Akhirnya, di ujung
level kepemimpinan, terdapatlah level kepemimpinan yang tertinggi yang kita
sebut sebagai level kepemimpinan yang sungguh menginspirasi (Personhood).
Hebatnya kepemimpinan model ini adalah bahkan setelah pemimpin tersebut tidak
ada, ataupun telah lama meninggalkan dunia ini, semangat dan nilai
kepemimpinannya masih dapat dirasakan. Disinilah, seorang pemimpin dapat
menginspirasi seseorang dengan nilai-nilai serta filosofi hidup yang dimilikinya.
Seperti kisah kita di awal tulisan ini, seorang pemimpin di level ini mulai
menginspirasi melalui karakter, nilai-nilai maupun perbuatan yang tiak
diucapkannya. Tetapi, seorang orang pada akhirnya akan melihatnya.
Menurut John Maxwell, tidak banyak pemimpin yang bisa sampai di level
kepemimpinan ini. Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh kepemimpinan yang
termasuk di kategori ini. Boleh saja, ada orang yang membencinya hingga
akhirnya ia ditembak mati. Tetapi, nilai dan filosofi hidupnya justru tetap
tumbuh dan berkembang, jauh hari setelah ia meninggal. Dan itulah contoh
kepemimpinan di level tertinggi ini.
Alexander The Great, atau yang lebih dikenal juga dengan
nama Iskandar Zulkarnain, adalah raja Romawi yang sangat terkenal dengan
kepemimpinannya. Suatu waktu Alexander The Great memimpin pasukannya melintasi gurun pasir yang
panas dan kering. Setelah hampir dua minggu berjalan, ia dan pasukannya
kelelahan dan hampir mati karena kehausan. Tetapi Alexander tetap memimpin
pasukannya untuk terus berjalan penuh semangat.Pada siang yang terik, dua orang pasukannya datang menemui
Alexander dengan membawa semangkuk air yang mereka ambil dan sebuah kolam air
yang telah kerontang. Kolam air itu kering dan hanya ada sedikit air yang tidak
akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh pasukan. Melihat hal ini, Alexander
membuang air itu ke gurun pasir.
Sang Raja berkata, ‘Tidak ada gunanya bagi seseorang untuk
minum di saat banyak orang sedang kehausan!
Demikianlah kepemimpinan itu. Anda tidak bisa memperlakukan
orang-orang anda hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan anda. Anda harus
menunjukkan ketulusan dan keteguhan diri anda dengan sama-sama merasakan apa
yang orang-orang anda rasakan.
0 komentar: